IBNU SINA (part 3)
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1. Filsafat Wujud Ketuhanan.
Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud
terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :
ü Essensi yang tak dapat mempunyai wujud
(mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.
ü Essensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin
berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
ü Essensi yang tak boleh dan tidak mesti
mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai
wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud wajib dan mumkin,
Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun antara lain:
baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud
Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang ada
selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini
mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk
ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu
lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak
awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan
baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim, sebelum
Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan
antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para
mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina
dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam
4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu
(ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak
ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan
bahwaadanyawajib wujud (Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi,
sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib
dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru,
tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan
Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran
Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah
diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak
mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam merupakan perbuatan mekanis
belaka atas adanya wajib al-wujud.
Ketiga, jika perbuatan Ilahi telah
selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan terbentuk “hukum
kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak
bebas.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi
wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya
dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum
(mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk
membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di
persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”
(Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan
(Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak
ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
2. Filsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatian yang
khusus terhadap pembahasan tentang jiwa, Memang tidak sukar untuk mencari
unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti
pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran
Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini
tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai konsep sendiri dalam segi
pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak memakai
metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran.
Dalam segi metafisika dia lebih mendekati pendapat-pendapat filosof modern. Pemikiran
terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa.Sebagaimana
Al-Farabi,iajuga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar akal
pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian
seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh
memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal
pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama
mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari Allah, dan
sifat mungkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya
sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dari
pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujud-nya timbul di langit.
Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:
v Segi fisika yang membicarakan tentang
macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia).
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
Ø Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai daya:Makan
(nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction)
Ø Jiwa binatangmempunyai daya:Gerak
(locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian :
a) Menangkap dari luar dengan panca indera.
Terdiri dari lima unsur; sentuh, perasa, pencium, penglihatan, pendengaran.
b) Menangkap dari dalam dengan indera-indera
dalam. Terdiri dari lima indera; indra al-hiss al-musytarakberfungsi menerima
segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-khayyalberfungsi menyimpan apa
yang ditangkap indera bersama, indera al-mutakhayyilatberfungsi menyusun apa
yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi berfungsi menangkap hal-hal yang
abstrak. Seperti menghindari sesuatu
yang dibenci oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan
hal-hal abstrak yang diterima dari estimasi.
Ø Jiwa manusia mempunyai daya :
ü Daya Praktis berhubungan dengan badan dan
daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak.Daya teoritis mempunyai tingkatan:
ü Akal materiil yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
ü Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih
untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
ü Akal aktual, yang telah dapat berfikir
tentang hal-hal abstrak.
ü Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
v Segi metafisika, yang membicarakan
tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian
jiwa.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan
adanya jiwa yaitu:
Ø Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan
kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah
gerak dan pengenalan.
Gerak ada dua macam yaitu :
Ø Gerak paksaan (harakah qahriah) yang
timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda
kemudian menggerakkannya.
Ø Gerak bukan paksaan, dan gerak ini
terbagi menjadi dua yaitu :
ü Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam,
seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah.
ü Gerak diam benda yang terjadi dengan
melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badan
seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang di udara,
seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan
dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang
melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.
Pengenalan tidak dimiliki oleh semua
mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini
menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya.
Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku
De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu
Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural
(physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai
kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu
macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya
(unsur-unsurnya).
Oleh karena itu maka tidak ada
keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan
alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang
memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin ) yang bergerak
dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak
mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain
yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ibnu Sina sendiri menyadari
kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang,
seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja,
dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran
dan jiwa.
3. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang
membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang
dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya
keluar atau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang
dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
4. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang
mempunyai hubungan dengan masa lampau dan masa depan. Kehidupan ruh pada pagi
ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin, bahkan kehidupan yang
terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun
yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan karena adanya jiwa.Ibnu Sina dengan dalil
kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan
mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam.
5. Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalahn yang paling jelas
menunjukkan intelektualitas Ibnu Sina. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas
perkiraan dan khayalan. Dalil tersebut sebagai berikut: jika ada seseorang yang
bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan.Kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat
sama sekali apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari
bahwa dirinya itu ada.Jika ia memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya,
berarti wujud penggambaran dirinya membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam
organ itu ada.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan
satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia
timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa,
lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi
fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada
permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
6. Falsafat Wahyu dan Nabi
Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan
sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Perbedaan antara nabi dan filosof yang telah dijelaskan oleh Sirajuddin bahwa
seorang nabi adalah manusia pertama, manusia pilihan Tuhan dan tidak peluang
bagi filosof untuk menjadi nabi. Sedangkan filosof adalah menusia kedua,
manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi.
Dari yang telah dijelaskan sebelumnya,
akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal
aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang
terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal
mustafad. Kebenaran filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan
ilham yang merupakan sebuah perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan
kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang berhubungan dengan nabi
melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci). Kebenaran nabi itulah
yang dinamakan wahyu.
Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada
manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads
yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya,
sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif
dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk
akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan