Oleh: Ahmad Sarbini
Pengertian
Sosiologi Dakwah
Sosiologi dakwah adalah ilmu yang
mengkaji secara sistematik perilaku dan kehidupan bersama manusia sejauh perilaku dan kehidupan
itu dapat ditinjau dan diamati secara empirik dalam perspektif dakwah.
Karena dakwah merupakan suatu konsep
yang berpijak pada nilai-nilai keislaman, maka tentu
dalam mengkaji perilaku dan kehidupan bersama manusia ini,
kajian sosiologi dakwah disamping berpijak pada teori-teori sosiologi umum
ia juga berpijak pada landasan teori-teori keislaman.
Perilaku dan kehidupan bersama manusia dalam sebuah
komunitas (masyarakat) ini amat menarik kajian banyak ilmu, khususnya
sosiologi, karena sekalipun mereka terdiri atas individu-individu yang
berbeda akan tetapi mereka dapat bersatu, hidup teratur, dan bekerjasama
untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
Dalam
perspektif sosiologi, kesatuan manusia dalam masyarakat ini disebabkan oleh
adanya nilai-nilai budaya yang dipegang bersama, dilembagakan menjadi norma-norma
sosial, dan dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi dalam
kehidupannya di masyarakat. Pelembagaan dan penjiwaan nilai-nilai atau sistem
budaya ini (nilai-nilai, kepercayaan, lambang-lambang) menyebabkan terjadinya
solidaritas dan integrasi di dalam masyarakat. Kalau proses pelembagaan dan
penjiwaan terhadap nilai-nilai atau sistem budaya ini terjadi secara penuh,
maka interaksi sosial akan berjalan secara harmonis dan integrasi sosial akan
terbangun dalam kehidupan di masyarat.
Sungguhpun
demikian, secara sosiologis diakui bahwa tidak ada suatu sistem sosial
yang tarap integrasinya bersifat sempurna.
Mungkin saja terdapat pribadi-pribadi yang gagal memenuhi peranan yang
diharapkan. Akan tetapi suatu disintegrasi yang bersifat menyeluruh tidak akan
mungkin terjadi. Hal ini karena dalam setiap masyarakat pasti terdapat
proses penjiwaan yang menyebabkan seseorang dapat meyeseuaikan
diri dengan norma-norma yang disepakati bersama.
Selain
itu, di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan individu-inidvidu yang berbeda-
beda akan selalu ada potensi peka dan toleran terhadap sesamanya. Dengan
demikian, potensi konflik atau disintegrasi di antara mereka akan selalu dapat
direm oleh lawannya, yakni potensi untuk berdamai atau bekerjasama membangun
kehidupan bersama.
Dalam
perspektif sosiologi dakwah, inilah barangkali salah satu fenomena kehidupan di
masyarakat yang dilansir dalam Alquran surat al-Baqarah, 2: 251 yang
berbunyi: Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan
segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai
kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa
keragaman (pluralisme) individu dalam masyarakat mesti
dipahami sebagai kemurahan Tuhan dan suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Oleh karena itu,
selama individu-individu
dalam masyarakat mampu menghayati makna substantif dari kehidupan bersama ini dan
mampu memposisikannya pada hubungan yang bersifat fungsional, maka disintegrasi dalam kehidupan
masyarakat tidak akan terjadi. Sebab, sungguhpun kehadiran individu-individu
dalam masyarakat memiliki (membawa) potensi konflik, akan tetapi secara dominan
mereka berwatak peka, toleran, mengayomi,
mendamaikan, dan menyatukan.
Analisis
di atas mengisyaratkan betapa pentingnya hubungan individu dan masyarakat.
Individu dan masyarakat tidak mungkin dipisahkan satu sama lain.
Kebebasan sebagai individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan
keterikatan dengan orang lain. Independensi sebagai individu tidak mungkin ada
tanpa dependensi dari masyarakat. Jadi, antara individudu dan masyarakat ini terdapat
suatu hubungan yang bersifat timbal-balik, dimana tiap-tiap individu menghidupi
masyarakatnya, dan tiap-tiap masyarakat menghidupi individu-individunya.
Seperti halnya sosiologi umum, sosiologi dakwah pun memandang bahwa baik individu maupun masyarakat merupakan dua realitas kemanusiaan yang masing-masing memiliki makna penting dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ajaran Islam dengan tegas menjunjung tinggi keberadaan individu dan mengakui serta menjamin hak-haknya yang tidak boleh dirampas oleh siapapun dan untuk kepentingan serta alasan apapun.
Di antara kaidah yang menegaskan
Islam menjamin hak-hak individu adalah pernyataan Allah dalam Alqur’an: Dan
janganlah sekali-kali kamu melakukan kecurangan dengan merampas hak-hak orang
lain dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan
(QS. Asy-Syu’ara, 26: 183). Kemudian, Rasulullah saw. bersabda: Kalau umat
terdahulu rusak itu karena apabila pelanggaran hak milik seseorang dilakukan
oleh kalangan terhormat, mereka membiarkannya begitu saja. Tapi apabila
pelanggaran itu dilakukan oleh rakyat jelata, dengan serta merta mereka
menegakkan sanksi sekeras-kerasnya. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti
Muhammad melanggar hak milik orang lain, pasti akan aku potong juga tangannya
(HR. Bukhari dan Muslim). Dua dalil naqli ini amat jelas mengisyaratkan
bagaimana Islam menjamin dan melindungi keberadaan individu dengan beragam hal
yang melekat pada dirinya.
Di sisi lain, Islam juga mengajarkan posisi masyarakat pun amat penting, bahkan tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan individu. Sebab, masyarakat membutuhkan keberadaan individu dan sebagai makhluk sosial, individu membutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjamin kelangsungan dan keharmonisan kehidupan sosial dalam masyarakat, Islam mengajarkan adanya tanggung jawab individu terhadap masyarakat (takafulul ijtima’i, tanggung jawab sosial). Tanggung jawab sosial adalah kesadaran dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah atau kepentingan-kepentingan sosial yang mendorong manusia untuk gemar melakukan perbuatan-perbuatan sosial, baik dalam sikap, perbuatan, atau dalam bentuk usaha yang serius terhadap pemecahan masalah-masalah sosial.
Secara garis besar, takafulul
ijtima’i ini antara lain meliputi:
solidaritas, kepedulian, dan pengorbanan untuk kepentingan sosial (masyarakat).
Munculnya konsep takafulul ijtima’i ini karena dalam pandangan Islam
pada dasarnya setiap individu yang ada dalam masyarakat merupakan satu kesatuan
umat yang utuh yang harus terjaga hak dan kewajibannya secara seimbang .
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab individu terhadap masyarakat (sesamanya) dalam kehidupan ini tidak terbatas, malah suatu ketika bisa saja sampai mengesampingkan hak dan kepentingan diri sendiri. Hal yang demikian ini seperti pernah dicontohkan oleh para sahabat Nabi dari kaum Anshar terhadap saudaranya dari kaum Muhajirin. Peristiwa ini terjadi pada masa hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Di mana, pada peristiwa itu, kaum Muhajirin yang berhijrah memenuhi seruan Rasulullah tidak sempat membawa perbekalan yang cukup, baik berupa makanan, pakaian atau yang lainnya. Padahal semua itu amat mereka butuhkan untuk kelangsungan hidupnya di Madinah. Melihat keadaan itu, tanpa ragu-ragu kaum muslimin dari kaum Anshar memberikan apa saja yang mereka punyai untuk memenuhi keperluan saudaranya dari kaum Muhajirin sekalipun mereka sendiri sesungguhkan amat membutuhkannya.
Sikap seperti ini kemudian mendapat pujian dari Allah SWT. hingga diabadikan dalam Alqur’an: Dan mereka (kaum Anshar) mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri, sekalipun sesungguhnya mereka berada dalam kesusahan (QS. Al-Hasyr, 59: 9). Kemudian dalam ayat lain, untuk mendorong agar setiap individu gemar menunjukkan tanggung jawab sosialnya dalam kehidupan di masyarakat, Allah berfirman: Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mengorbankan sebagian yang kamu cintai untuk kepentingan orang lain (QS. Ali Imran, 3: 92).
Selanjutnya, dalam persepktif
sosiologi dakwah, kualitas tanggung sosial individu terhadap sesamanya dalam
kehidupan di masyarakat setidaknya dapat diukur oleh tiga hal: (1) seberapa
besar kesungguhan dan kedisiplinan individu dalam memerankan fungsi-fungsi
sosialnya dalam kehidupan di masyarakat; (2) seberapa besar kepekaan dan
kepedulian individu terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, dan; (3)
seberapa besar kesabaran individu untuk menekan benih-benih konflik dengan
sesamanya dalam kehidupan di masyarakat.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan