Pages

Pages

Isnin, 18 Mac 2013

Sosiologi Dakwah II



Oleh: Ahmad Sarbini
Pengertian Sosiologi Dakwah
          
        Sosiologi dakwah adalah ilmu yang mengkaji secara sistematik perilaku dan kehidupan bersama manusia sejauh perilaku dan kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati secara empirik dalam perspektif dakwah.

         Karena dakwah merupakan suatu konsep yang berpijak pada nilai-nilai keislaman, maka tentu dalam mengkaji perilaku dan kehidupan bersama manusia ini, kajian sosiologi dakwah disamping berpijak pada teori-teori sosiologi umum ia juga berpijak pada landasan teori-teori keislaman.            

        Perilaku dan kehidupan bersama manusia dalam sebuah komunitas (masyarakat) ini amat menarik kajian banyak ilmu, khususnya sosiologi, karena sekalipun mereka terdiri atas individu-individu yang berbeda akan tetapi mereka dapat bersatu, hidup teratur, dan bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.

            Dalam perspektif sosiologi, kesatuan manusia dalam masyarakat ini disebabkan oleh adanya nilai-nilai budaya yang dipegang bersama, dilembagakan menjadi norma-norma sosial, dan dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-motivasi dalam kehidupannya di masyarakat. Pelembagaan dan penjiwaan nilai-nilai atau sistem budaya ini (nilai-nilai, kepercayaan, lambang-lambang) menyebabkan terjadinya solidaritas dan integrasi di dalam masyarakat. Kalau proses pelembagaan dan penjiwaan terhadap nilai-nilai atau sistem budaya ini terjadi secara penuh, maka interaksi sosial akan berjalan secara harmonis dan integrasi sosial akan terbangun dalam kehidupan di masyarat.

            Sungguhpun demikian, secara sosiologis diakui bahwa tidak ada suatu sistem sosial yang tarap integrasinya bersifat sempurna.  Mungkin saja terdapat pribadi-pribadi yang gagal memenuhi peranan yang diharapkan. Akan tetapi suatu disintegrasi yang bersifat menyeluruh tidak akan mungkin terjadi. Hal ini karena dalam setiap masyarakat pasti terdapat proses penjiwaan yang menyebabkan seseorang dapat meyeseuaikan diri dengan norma-norma yang disepakati bersama.

                 Selain itu, di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan individu-inidvidu yang berbeda- beda akan selalu ada potensi peka dan toleran terhadap sesamanya. Dengan demikian, potensi konflik atau disintegrasi di antara mereka akan selalu dapat direm oleh lawannya, yakni potensi untuk berdamai atau bekerjasama membangun kehidupan bersama.

               Dalam perspektif sosiologi dakwah, inilah barangkali salah satu fenomena kehidupan di masyarakat yang dilansir dalam Alquran surat al-Baqarah, 2: 251 yang berbunyi: Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.

             Ayat ini mengisyaratkan bahwa keragaman (pluralisme) individu dalam masyarakat mesti dipahami sebagai kemurahan Tuhan dan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, selama individu-individu dalam masyarakat mampu menghayati makna substantif dari kehidupan bersama ini dan mampu memposisikannya pada hubungan yang bersifat fungsional, maka disintegrasi dalam kehidupan masyarakat tidak akan terjadi. Sebab, sungguhpun kehadiran individu-individu dalam masyarakat memiliki (membawa) potensi konflik, akan tetapi secara dominan mereka berwatak peka, toleran, mengayomi, mendamaikan, dan menyatukan.

       Analisis di atas mengisyaratkan betapa pentingnya hubungan individu dan masyarakat. Individu dan masyarakat tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Kebebasan sebagai individu tidak mungkin dipikirkan tanpa adanya ikatan dan keterikatan dengan orang lain. Independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat. Jadi, antara individudu dan masyarakat ini terdapat suatu hubungan yang bersifat timbal-balik, dimana tiap-tiap individu menghidupi masyarakatnya, dan tiap-tiap masyarakat menghidupi individu-individunya.

       Seperti halnya sosiologi umum, sosiologi dakwah pun memandang bahwa baik individu maupun masyarakat merupakan dua realitas kemanusiaan yang masing-masing memiliki makna penting dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ajaran Islam dengan tegas menjunjung tinggi keberadaan individu dan mengakui serta menjamin hak-haknya yang tidak boleh dirampas oleh siapapun dan untuk kepentingan serta alasan apapun.

         Di antara kaidah yang menegaskan Islam menjamin hak-hak individu adalah pernyataan Allah dalam Alqur’an: Dan janganlah sekali-kali kamu melakukan kecurangan dengan merampas hak-hak orang lain dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan (QS. Asy-Syu’ara, 26: 183). Kemudian, Rasulullah saw. bersabda: Kalau umat terdahulu rusak itu karena apabila pelanggaran hak milik seseorang dilakukan oleh kalangan terhormat, mereka membiarkannya begitu saja. Tapi apabila pelanggaran itu dilakukan oleh rakyat jelata, dengan serta merta mereka menegakkan sanksi sekeras-kerasnya. Demi Allah, sekiranya Fathimah binti Muhammad melanggar hak milik orang lain, pasti akan aku potong juga tangannya (HR. Bukhari dan Muslim). Dua dalil naqli ini amat jelas mengisyaratkan bagaimana Islam menjamin dan melindungi keberadaan individu dengan beragam hal yang melekat pada dirinya.

         Di sisi lain, Islam juga mengajarkan posisi masyarakat pun amat penting, bahkan tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan individu. Sebab, masyarakat membutuhkan keberadaan individu dan sebagai makhluk sosial, individu membutuhkan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjamin kelangsungan dan keharmonisan kehidupan sosial dalam masyarakat, Islam mengajarkan adanya tanggung jawab individu terhadap masyarakat (takafulul ijtima’i, tanggung jawab sosial). Tanggung jawab sosial adalah kesadaran dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah atau kepentingan-kepentingan sosial yang mendorong manusia untuk gemar melakukan perbuatan-perbuatan sosial, baik dalam sikap, perbuatan, atau dalam bentuk usaha yang serius terhadap pemecahan masalah-masalah sosial.

         Secara garis besar, takafulul ijtima’i  ini antara lain meliputi: solidaritas, kepedulian, dan pengorbanan untuk kepentingan sosial (masyarakat). Munculnya konsep takafulul ijtima’i ini karena dalam pandangan Islam pada dasarnya setiap individu yang ada dalam masyarakat merupakan satu kesatuan umat yang utuh yang harus terjaga hak dan kewajibannya secara seimbang .

         Dalam perspektif Islam, tanggung jawab individu terhadap masyarakat (sesamanya) dalam kehidupan ini tidak terbatas, malah suatu ketika bisa saja sampai mengesampingkan hak dan kepentingan diri sendiri. Hal yang demikian ini seperti pernah dicontohkan oleh para sahabat Nabi dari kaum Anshar terhadap saudaranya dari kaum Muhajirin. Peristiwa ini terjadi pada masa hijrah Nabi dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah. Di mana, pada peristiwa itu, kaum Muhajirin yang berhijrah memenuhi seruan Rasulullah tidak sempat membawa perbekalan yang cukup, baik berupa makanan, pakaian atau yang lainnya. Padahal semua itu amat mereka butuhkan untuk kelangsungan hidupnya di Madinah. Melihat keadaan itu, tanpa ragu-ragu kaum muslimin dari kaum Anshar memberikan apa saja yang mereka punyai untuk memenuhi keperluan saudaranya dari kaum Muhajirin sekalipun mereka sendiri sesungguhkan amat membutuhkannya.

       Sikap seperti ini kemudian mendapat pujian dari Allah SWT. hingga diabadikan dalam Alqur’an: Dan mereka (kaum Anshar) mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri, sekalipun sesungguhnya mereka berada dalam kesusahan (QS. Al-Hasyr, 59: 9). Kemudian dalam ayat lain, untuk mendorong agar setiap individu gemar menunjukkan tanggung jawab sosialnya dalam kehidupan di masyarakat, Allah berfirman: Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mengorbankan sebagian yang kamu cintai untuk kepentingan orang lain (QS. Ali Imran, 3: 92).

             Selanjutnya, dalam persepktif sosiologi dakwah, kualitas tanggung sosial individu terhadap sesamanya dalam kehidupan di masyarakat setidaknya dapat diukur oleh tiga hal: (1) seberapa besar kesungguhan dan kedisiplinan individu dalam memerankan fungsi-fungsi sosialnya dalam kehidupan di masyarakat; (2) seberapa besar kepekaan dan kepedulian individu terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, dan; (3) seberapa besar kesabaran individu untuk menekan benih-benih konflik dengan sesamanya dalam kehidupan di masyarakat.

           Oleh karena itu, dalam kajian sosiologi dakwah, individu yang gemar menebarkan kebencian, isu-isu busuk, teror, mengadu domba, dan lebih menyukai perselisihan atau permusuhan daripada perdamaian dalam kehidupan di masyarakat dipandang memiliki tanggung jawab sosial yang rendah. Sebab, dengan melakukan hal-hal seperti itu berarti ia telah menebarkan api yang akan membakar sendi-sendi hubungan sosial antarsesama, sehingga tatanan atau struktur kehidupan sosial menjadi rusak.

Sosiologi Dakwah I



Oleh: Ahmad Sarbini

Perlunya Kajian Sosiologi Dakwah
  1.             Sasaran utama gerakan dakwah adalah manusia, baik dalam kedudukannya sebagai individu atau sebagai komunitas sosial (masyarakat). Manusia adalah suatu fakta yang paling sulit untuk dimengerti. Di satu sisi ia mempunyai karakter yang sangat individual dan di sisi lain ia juga memiliki karakter sosial. Di satu pihak ia menghayati dirinya sebagai pusat segala tindakan, tapi di lain pihak ia berpikir dan bertindak mengacu pada pola budaya dan sistem sosial tertentu yang memberi makna dan arah kepada tindakan-tindakannya. Rumitnya kajian tentang manusia ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tiap-tiap individu adalah satu dan banyak sekaligus. Manusia adalah persilangan antara individualitas dan sosialitas yang satu sama lain saling mengisi dan meresapi. Sosiologi dakwah ingin mengantarkan kepada pemahaman mengenai fakta-fakta masyarakat manusia secara tepat dan mendalam.
2.                  Untuk akurasi pemetaan dan pengolahan sasaran dakwah, diperlukan analisis medan dakwah yang tepat. Analisis medan dakwah merupakan bagian yang amat penting dalam semua bentuk aktivitas dakwah. Sebab, dakwah tidak hanya membutuhkan perencanaan yang matang atau kebijakan yang cerdas, tapi juga memerlukan pengolahan dan pemahaman medan dakwah secara matang dan objektif untuk mampu melahirkan efek tertentu di masyarakat yang sesuai dengan tuntutan visi dan misi dakwah. Analisis medan dakwah merupakan salah satu dari empat strategi dakwah Islam, tiga lainnya adalah analisis da’i (pelaku dakwah), analisis pesan dakwah,  dan analisis cara melakukan (metodologi) dakwah. Sosiologi dakwah membantu memahami ragam strata yang terdapat pada masyarakat manusia dalam berbagai seginya yang sangat penting artinya bagi akurasi pemetaan dan pengolahan sasaran dakwah.

3.                  Fakta-fakta yang terkait dengan berbagai aspek masyarakat manusia menjadi sumber inspirasi dan metodologi gerakan dakwah. Konsep dan model dakwah baru yang segar tidak jarang lahir dari hasil pengamatan mengenai ragam fenomena yang terjadi di masyarakat. Ringkasnya, inspirasi dan metodologi gerakan dakwah tidak dapat dipisahkan dari ragam fenomena yang berkembang (terjadi) di masyarakat. Dalam kaitan ini, sosiologi dakwah menjadi salah satu sumber informasi mengenai berbagai hal yang terjadi (berkembang) di masyarakat yang menginpirasi lahirnya konsep-konsep dan model-model dakwah baru.


4.      Gerakan dakwah yang berkembang belum berpijak pada pemahaman kondisi sosial yang memadai. Diantara indikasinya:
a.      Tema-tema dakwah yang disajikan banyak yang kehilangan relevansi dengan isu-isu, masalah-masalah, dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat. Tema-tema dakwah yang disajikan cenderung terlalu berorientasi pada persoalan-persoalan eskatologis (persoalan keakhiratan). Sementara bagaimana membangun kehidupan di dunia yang bahagia dan sejahtera kurang mendapat tekanan yang serius. Sehingga, amat wajar bila isu-isu besar seperti: kekerasan, teorisme (yang oleh Barat selalu dikaitkan dengan Islam), perdamaian global, hak asasi manusia, pornografi, korupsi, perusakan lingkungan, perdagangan manusia, dan lain-lain, nyaris tak terbahas secara mendalam (Amrullah Ahmad).

b.            Masyarakat tidak dijadikan sebagai sasaran utama pemberdayaan melalui upaya penyadaran agar mereka mau mengkaji, berpikir, dan bertindak. Dalam ragam perhelatan dakwah, masyarakat cenderung menjadi objek yang pasif. Masyarakat dipandang sebagai wadah kosong yang harus diisi dengan keyakinan dan nilai-nilai moral. Da’i berbicara, hadirin mendengarkan. Da’i berpikir, hadirin dipikirkan. Da’i mengatur, hadirin diatur, dan seterusnya. Dalam situasi dakwah seperti itu, masyarakat tidak dibangkitkan dan ditumbuhkan minatnya untuk mengembangkan kreativitas, berpikir kritis, dan menata ulang kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik (Yudi Latif).


c.             Juga tidak jarang perhelatan dakwah yang berkembang di masyarakat keberhasilannya diukur oleh kuantitas jumlah pengunjung, sementara  bagaimana perkembangan masyarakat selanjutnya sebagai sasaran utama dakwah jarang dipikirkan. Malah proses dakwah yang berkembang cenderung lebih banyak “menguntungkan” para da’i ketimbang masyarakat yang diserunya. Misalnya, betapa banyak da’i yang dilambungkan status sosial, ekonomi, atau politiknya setelah laris “dipakai” berbagai majelis taklim. Namun tidak demikian halnya dengan kondisi masyarakat yang diserunya, keadaan mereka tetap memprihatinkan. Sehingga proses dakwah hanya melahirkan struktur masyarakat baru dimana para da’i menjadi elite sementara masyarakat tetap berada di struktur bawah, miskin dan terpinggirkan. Bila etos dakwah yang berkembang di masyarakat masih terus seperti ini, maka tidak mustahil umat Islam akan kehilangan kreativitas, budaya berpikir kritis, dan kegairahan bertindak dalam kehidupannya di masyarakat (Yudi Latif).

d.            Singkatnya, gerakan dakwah yang sekarang berkembang belum mampu secara optimal membangkitkan dan menumbuhkan minat masyarakat untuk mengkaji, berpikir kritis, dan mengembangkan kreativitas. Malah yang memprihatinkan, dalam melihat berbagai ketertinggalan di kalangan umat Islam, para pelaku dakwah tidak jarang hanya sebatas mampu menyalahkan kebodohan, mengkambinghitamkan kemiskinan, mengecam dan menserapahi kemaksiatan, atau melakukan tindakan-tindakan anarkhis dengan dalih memberantas kemungkaran, tanpa melakukan aksi-aksi berarti untuk mendorong masyarakat sehingga mereka mau dan mampu mengubah keadaannya sendiri.

e.      Sejatinya, tradisi dakwah yang dikembangkan harus mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat, dimana masyarakat lebih diposisikan sebagai subjek, sementara da’i hanya sebatas fasilitator perubahan.


Ø                      Masyarakat diberi ruang kebebasan untuk mengubah keadaannya sendiri. Masyarakat dibangun kesadarannya bahwa sesungguhnya semua anggota masyarakat adalah da’i bagi dirinya sendiri, yang tak mungkin terjadi perubahan berarti bila ia tidak mau mengubah apa yang ada pada dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum sebelum mereka mau mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’du, 13 : 11)

Ø                     Forum-forum dakwah mesti diorientasikan menjadi sebuah sarana dialog untuk membangkitkan potensi masyarakat sebagai makhluk kreatif,  memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka kehendaki, sehingga terbangun  kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya dengan kekuatan yang mereka miliki sendiri. Dengan begitu esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah masyarakat, tapi menciptakan suatu ruang, peluang, atau kesempatan sehingga masyarakat akan mengubah dirinya sendiri (Yudi Latif). 

pengertian akhlak (part 3)


KEPENTINGAN DAN KESEMPURNAAN AKHLAK

Akhlak adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Betapa pentingnya akhlak tersebut dalam kehidupan manusia, sehingga Rasulullah s.a.w di utuskandi muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Sabda Rasulullah s.a.w :
“ Sesungguhnya aku diutus untuk untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Kemuliaan akhlak adalah tanda keimanan seseorang kerana ia adalah buah dari keimanannya. Adalah tidak dikira beriman seseorang yang tidak berakhlak. Sabdanya yang bermaksud :
“Bukanlah iman itu hanya dengan cita-cita tetapi iman itu ialah keyakinan yang tertanan di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan”. (Riwayat Al-Dailami)
Hadith di atas telah membuktikan bahawa akhlak sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika diteliti, semua ibadat yang difardhukan dalam Islam seperti puasa, solat, zakat dan haji adalah bermatlamatkan kesempurnaan akhlak yang mulia terhadap Allah s.w.t mahupun sesama manusia dan makhluk lain. Firman Allah s.w.t :
ž 3
Maksud: “..Sesungguhnya solat itu mencegah dan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar”.
                                                                                             [Al-Ankabut,29:45]
Sebagaimana telah dinyatakan diatas bahawa Allah s.w.t telah mengutus Nabi Muhammad s.a.w untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Akhlak yang ditunjukkan oleh baginda sangat dikagumi oleh masyarakat Arab ketika itu, bahkan baginda popular dengan gelaran Al-Amin (orang yang jujur). Akhlak mulia yang dimiliki oleh Rasulullah s.a.w tidak dapat dinafikan oleh sesiapa pun kerana Allah s.w.t telah mengungkapkan perkara ini melalui Firman-Nya:

Maksud: “ Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung”.
                 [Al-Qalam,68:4]
Akhlak merupakan garis pemisah antara yang berakhlak dengan orang yang tidak berakhlak. Akhlak juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Oleh itu salah satu misi yang dibawa oleh Rasulullah saw ialah membina kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu ekoran penyembahan berhala oleh pengikutnya yang telah menyeleweng.
Hal ini juga berlaku pada zaman jahiliyyah yang mana akhlak manusia telah runtuh berpunca daripada mewarisi perangai umat yang terdahulu dengan tradisi meminum arak, membuang anak, membunuh, melakukan kezaliman sesuka hati, menindas, suka memulau kaum yang rendah martabatnya dan sebagainya. Dengan itu mereka sebenarnya tidak berakhlak dan tidak ada bezanya dengan manusia yang tidak beragama.
          Akhlak juga merupakan nilai yang menjamin keselamatan daripada api neraka. Islam menganggap mereka yang tidak berakhlak tempatnya dia dalam neraka. Umpamanya seseorang itu melakukan maksiat, menderhaka kepada ibu bapa, melakukan kezaliman dan sebagainya, sudah pasti Allah akan menolak mereka daripada menjadi ahli syurga.
Selain itu, akhlak juga merupakan ciri-ciri kelebihan di antara manusia kerana ianya lambang kesempurnaan iman, ketinggian taqwa dan kealiman seseorang manusia yang berakal. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda yang bermaksud :
"Orang yang sempurna imannya ialah mereka yang paling baik akhlaknya."
Kekalnya sesuatu ummah juga kerana kukuhnya akhlak dan begitulah juga runtuhnya sesuatu ummah itu kerana lemahnya akhlaknya. Hakikat kenyataan di atas dijelaskan dalam kisah-kisah sejarah dan tamadun manusia melalui al-Quran seperti kisah kaum Lut, Samud, kaum nabi Ibrahim, Bani Israel dan lain-lain. Ummah yang berakhlak tinggi dan sentiasa berada di bawah keredhaan dan perlindungan Allah ialah ummah yang seperti di Madinah pada zaman Rasulullah saw.
Ketiadaan akhlak yang baik pada diri individu atau masyarakat akan menyebabkan berlaku pelbagai krisis dalaman dan luaran seperti krisis nilai diri, keruntuhan rumahtangga, masyarakat belia yang mundur dan boleh membawa kepada kehancuran sesebuah negara. Presiden Perancis ketika memerintah Perancis dulu pernah berkata : "Kekalahan Perancis di tangan tentera Jerman disebabkan tenteranya runtuh moral dan akhlak."
Pencerminan diri seseorang sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan. Malahan akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang sebagaimana aqidah merupakan tunjang agama, syariat merupakan cabang dan rantingnya manakala akhlak adalah yang mewarnai seperti bunga-bungaan yang menyerikan hiasan pokok tersebut.
Akhlak tidak dapat dibeli atau dinilai dengan wang ringgit Ia wujud di dalam diri seseorang hasil daripada didikan kedua ibu bapa atau penjaga serta pengaruh dari masyarakat sekeliling mereka. Jika sejak kecil kita didedahkan dengan akhlak yang mulia, maka secara tidak langsung ia akan mempengaruhi tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari hinggalah seterusnya.
Proses pembentukan sesebuah masyarakat adalah sama seperti membina sebuah bangunan. Kalau dalam pembinaan bangunan, asasnya disiapkan terlebih dahulu, begitu juga dengan membentuk masyarakat mesti dimulakan dengan pembinaan asasnya terlebih dahulu. Jika kukuh asas yang dibina maka tegaklah masyarakat itu. Jika lemah maka robohlah apa-apa sahaja yang dibina di atasnya.
Oleh itu, Akhlak amat penting kerana merupakan asas yang dilakukan oleh Rasulullah saw ketika memulakan pembentukan masyarakat Islam. Sheikh Mohamad Abu  Zahrah dalam kitabnya Tanzim al-Islam Li al-Mujtama' menyatakan bahawa budi pekerti atau moral yang mulia adalah satu-satunya asas yang paling kuat untuk melahirkan manusia yang berhati bersih, ikhlas dalam hidup, amanah dalam tugas, cinta kepada kebaikan dan benci kepada kejahatan.

pengertian akhlak (part 2)


KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM

Akhlak mempunyai kedudukan yang paling penting dalam agama Islam. Antaranya :
Ø  Akhlak dihubungkan dengan tujuan risalah Islam atau antara perutusan utama Rasulullah saw. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :
"Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." Pernyataan Rasulullah itu menunjukkan pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam.
Ø  Akhlak menentukan kedudukan seseorang di akhirat nanti yang mana akhlak yang baik dapat memberatkan timbangan amalan yang baik. Begitulah juga sebaliknya. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :
"Tiada sesuatu yang lebih berat dalam daun timbangan melainkan akhlak yang baik."
Ø  Akhlak dapat menyempurnakan keimanan seseorang mukmin. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :
"Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya."
Ø  Akhlak yang baik dapat menghapuskan dosa manakala akhlak yang buruk boleh merosakkan pahala. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud :
"Akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan ais (salji) dan akhlak merosakkan amalan seperti cuka merosakkan madu."
Ø  Akhlak merupakan sifat Rasulullah saw di mana Allah swt telah memuji Rasulullah kerana akhlaknya yang baik seperti yang terdapat dalam al-Quran, firman Allah swt yang bermaksud:
"Sesungguhnya engkau seorang yang memiliki peribadi yang agung (mulia)." Pujian allah swt terhadap RasulNya dengan akhlak yang mulia menunjukkan betapa besar dan pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam. Banak lagi ayat-ayat dan hadith-hadith Rasulullah saw yang menunjukkan ketinggian kedudukan akhlak dan menggalakkan kita supaya berusaha menghiasi jiwa kita dengan akhlak yang mulia.
Ø  Akhlak tidak dapat dipisahkan dari Islam, sebagaimana dalam sebuah hadith diterangkan bahawa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah saw :
"Wahai Rasulullah, apakah itu agama?" Rasulullah menjawab : "Akhlak yang baik."
Ø  Akhlak yang baik dapat menghindarkan seseorang itu daripada neraka sebaliknya akhlak yang buruk menyebabkan seseorang itu jauh dari syurga. Sebuah hadith menerangkan bahawa,
"Si fulan pada siang harinya berpuasa dan pada malamnya bersembahyang sedangkan akhlaknya buruk, menganggu jiran tetangganya dengan perkataannya. Baginda bersabda : tidak ada kebaikan dalam ibadahnya, dia adalah ahli neraka."
Ø  Salah satu rukun agama Islam ialah Ihsan, iaitu merupakan asas akhlak seseorang muslim. Ihsan iaitu beribadat kepada allah seolah-olah kita melihatNya kerana walaupun kita tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita.

pengertian akhlak (sambungan part 1)


Selain itu, untuk membiasakan diri dengan sifat dan nilai yang baik serta membuang sifat yang tercela, individu Muslim hendaklah sentiasa mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan menurut serta patuh kepada perintah-Nya. Justeru setiap Muslim mesti berusaha untuk memiliki dan mengamalkan akhlak dan sifat terpuji dalam kehidupan seharian.
            Daripada perbincangan di atas, jelas menunjukkan bahawa Islam mementingkan factor kebiasaan dalam pembentukan dan pembinaan peribadi manusia. Contohnya, hadis Nabi s.a.w. yang bermaksud: “Suruhlah anakmu mendirikan solat ketika umurnya tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun sekiranya enggan melakukannya” jelas menegaskan perkara ini. Sebagai ibu bapa atau pendidik, kita hendaklah menyuruh anak-anak menunaikan solat agar amalan solat itu menjadi kebiasaan kepada anak-anak. Apabila ia menjadi satu kebiasaan, maka anak-anak tidak akan berasa keberatan atau bebanan dalam melaksanakan ibadah solat. Ibarat kata pepatah, “alah bisa tegal biasa”.
            Hal ini menunjukkan bahawa Islam mementingkan faktor kebiasaan dalam pembentukan dan pembinaan peribadi manusia. Ahli falsafah Greek, Aristotle turut menyatakan bahawa perilaku yang diulan-ulang akan membentuk kecenderungan yang positif, yang akhirnya akan melahirkan tabiat atau virtues, dan itulah sebenarnya akhlak. Malah, kepentingan faktor kebiasaan dalam tindakan dan perbuatan manusia diakui oleh para ahli psikologi dan moral menerusi teori-teori pembelajaran tingkah laku yang diketengahkan. Perkara ini juga boleh dilihat dalam kalangan orang tua yang bersifat tradisional. Mereka kelihatan sukar untuk menerima nilai dan mengamalkan tabiat baharu disebabkan telah biasa dan sebati dengan apa yang dipegang dan diamalkan sebelum ini. Sebaliknya, anak-anak kecil sangat cepat dan mudah dibiasakan dengan fikiran atau idea baru. Perbezaan ini disebabkan faktor kebiasaan kerana orang tua sudah biasa hidup dengan tradisi atau nilai-nilai lama (Humaidi Tatapangarsa, 1979).
            Akhlah juga didefinisikan sebagai maruah. Hal ini kerana apabila seseorang Muslim memelihara dan mengamalkan akhlak Islam, maka sekaligus dia telah memelihara maruah diri dan agamanya. Maruah yang dipamerkan merupakan maruah yang mulia dan tinggi nilainya dan memberi kebaikan kepada diri individu itu sendiri dan juga orang lain.
            Tegasnya, kedudukan akhlak dalam Islam amat jelas. Terdapat banyak ayat al-Quran dan hadis Rasulullah s.a.w. yang menunjukkan bahawa peranan akhlak dalam Islam tidak boleh dipisahkan daripada kandungan agama itu sendiri. Dengan kata lain, agama Islam amat berkait rapat dan menekankan soal akhlak. Oleh itu, istilah akhlak juga diberi maksud agama kerana itu merupakan sebahagian daripada agama Islam itu sendiri. Seringkali soal kesempunaan iman atau akidah seseorang dikaitkan dengan amalan nilai akhlak. Lanjutan daripada definisi ini juga memperlihatkan perkaitan yang sebati antara agama dan akhlak kerana akhlak dalam Islam ialah nilai keagamaan dan nilai kudus yang perlu dipelihara.
            Berdasarkan kepada pengertian-pengertian ini, jelas bahawa akhlak merupakan sifat semulajadi, tabiat serta maruah, agama  yang mempamerkan gambaran atau rupa batin seseorang. Menurut Miqdad Yalchin (1998), akhlak boleh dismpulkan maksudnya yang mengandungi aspek-aspek berikut:
1.         Sifat semulajadi yang dimiliki oleh seseorang.
2.         Sifat yang dimiliki oleh seseorang melalui latihan, rangsangan atau sebagainya yang akhirnya menjadi adat atau tabiat.
3.         Akhlak meliputi dua dimensi iaitu batin atau kejiwaan dan zahir dalam bentuk perlakuan.
Imam al-Ghazali juga mentakrifkan akhlak sebagai: Suatu gambaran daripada keadaan dalam diri yang telah sebati, daripadanya  melahirkan tingkah laku yang mudah dicerna tanpa memerlukan pengulangan.
Sifat dan gambaran  batin yang indah serta kelakuan yang mulia inilah yang perlu dilahirkan di mana ia bukanlah sesuatu yang bersifat subjektif  malah dalam Islam ia berdasarkan dan ditentukan secara mutlak oleh Penciptanya iaitu Allah s.w.t. Misalnya, manusia dikehendaki menyayangi ibu bapanya, saudaranya malah haiwan sekalipun, merasa belas kasihan kepada orang fakir miskin, menjauhi sifat sombong, riak, iri hati dan sebagainya. Menurut Miqdad Yalchin lagi, akhlak merupakan prinsip-prinsip dan dasar atau kaedah yang ditentukan oleh wahyu untuk mengatur perlakuan, mambatasi (membentuk) hubungannya dengan orang lain sehingga mencapai matlamat kewujudannya di dunia ini secara yang paling sempurna.
Masyarakat di mana-mana sahaja di dunia ini dan bila-bila masa juga sentiasa menerima dan menyanjung tinggi akhlak yang baik dan sebaliknya menolak dan membenci akhlak yang buruk dan keji. Mustafa Hj. Daud (1988) menjelaskan bahawa menurut al-Imam al-Maududi:
Nilai akhlak yang baik dan akhlak yang keji adalah berbentuk sejagat, iaitu semua masyarakat di dunia ini pada keseluruhannya mempunyai pandangan yang sama terhadap akhlak yang baik dan sama-sama mengeji akhlak yang keji. Justeru, al-Quran menggunakan istilah al-Ma’ruf (sesuatu yang telah diketahui manusia tentang baiknya sesuatu perbuatan) untuk akhlak yang baik dan al-Munkar (sesuatu yang telah diketahui tantang keburukannya) untuk akhlak yang buruk.
Dalam Islam, untuk mengenal pasti antara baik dengan buruknya sesuatu perbuatan atau perlakuan itu adalah jelas. Sebarang tingkah laku manusia yang bertujuan untuk mendapatkan keredhaan Allah s.w.t., maka dikatakan baik dan mulia.  Sebaliknya segala tindakan yang menyebabkan kemurkaan-Nya ia dikatakan jahat dan keji. Hal ini kerana matlamat hidup manusia sebenarnya adalah untuk mencari keredhaan Allah s.w.t. segala apa yang dilakukan oleh umat Islam semata-mata kerana Allah s.w.t. dan ikhlas melakukannya.
Demikian juga menurut Abdullah al-Amin an-Na’miy (1994), Ibnu Khaldun menegaskan bahawa agama bermatlamatkan ke arah pembinaan akhlak yang baik, sama ada melalui perintah ataupun tegahan. Oleh itu, manusia perlu mempelajari dan mengenalpasti antara akhlak yang bersifat baik dan yang buruk. Malah bagi umat Islam, mempelajari ilmu akhlak  dan mengenali jenis akhlak yang baik dan yang buruk itu merupakan sesuatu tuntutan dalam Islam.

pengertian akhlak (part 1)


PENDAHULUAN

Akhlak merupakan sesuatu yang penting dalam membentuk ummah yang gemilang. Selain itu juga, akhlak ini terbahagi kepada dua bentuk iaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk. Akhlak yang baik merupakan sesuatu yang lahir dari hati tanpa dipaksa oleh sesuatu pun, manakala akhlak yang buruk pula merupakan sesuatu yang boleh menyebabkan seseorang itu terjerumus ke dalam kancah yang boleh merosakkan akidah.
Walaupun manusia boleh dipisahkan daripada bidang ilmu atau pemikiran, bahkan juga boleh dipisahkan daripada agama dan kepercayaan, tetapi tidak boleh dipisahkan dengan akhlak atau moral. Ini kerana setiap perbuatan, amalan atau tindakan yang diambil tidak terlepas atau terkeluar daripada lingkungan hukuman sama ada terhadap dirinya atau orang lain ataupun benda lain iaitu adakah baik atau tidak segala tindakan tersebut. Jika baik jawapannya perkara itu akan dilakukan tetapi jika jahat perkara itu akan ditinggalkan. Itulah akhlak yang baik. Tetapi jika sebaliknya yang dilakukan itulah akhlak yang buruk.
Dari sini ternyata kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia sehingga di kalangan orang yang tidak bermoral mereka merasakan perlu adanya suatu akhlak yang diakui bersama oleh mereka supaya dapat mengatur kehidupan yang lebih baik menurut pandangan mereka.
Islam merangkumi aqidah, dan syariat itu mengandungi roh akhlak. Akhlak adalah roh kepada risalah Islam sementara syariat adalah lembaga jelmaan daripada roh tersebut. Ini bererti Islam tanpa akhlak seperti rangka yang tidak mempunyai isi, atau jasad yang tidak bernyawa. Sabda Rasulullah saw yang bermaksud : "Islam itu akhlak yang baik". Begitu juga sabda Baginda yang bermaksud : "Tidak ada sesuatu yang lebih berat timbangannya selain daripada akhlak yang mulia."

DEFINISI DAN KONSEP AKHLAK

Istilah “Akhlak” berasal dari bahasa Arab yang diambil daripada perkataan “Khuluq” yang boleh didefinisikan sebagai perangai atau tingkah laku, tabiat, kepercayaan, pegangan atau agama.
Berdasarkan pengertian ini, akhlak merupakan perangai, tabiat, maruah dan agama yang mempamerkan gambaran atau rupa batin seseorang (Asmawati Suhid dalam Abdul Rahman Md. Aroff, 2004)
Akhlak diberi pengertian sebagai perangai atau tabiat kerana ia dimiliki oleh individu sejak lahir lagi. Ini jelas daripada definisi yang diberi oleh al-Ghazali (Ghazali, Darussalam, 1997) bahawa akhlak ialah satu gambaran daripada keadaaan dalam diri yang telah sebati, yang daripadanya lahir tingkah laku yang mudah dicerna tanpa memerlukan pengulangan.
Hal ini dijelaskan lagi oleh definisi yang diberi oleh Imam al-Maududi yang memperlihatkan bahawa akhlak itu talah dimiliki oleh seseorang sejak dia dilahirkan sebagaimana dilaporkan seperti berikut:
Akhlak merupakan tingkah laku manusia yang ada sejak kelahiran seseorang. Setelah sekian lama, pembawaan itu menjadi norma yang dapat diterima oleh masyarakat, iaitu ada yang diakui oleh masyarakat sebagai akhlak yang baik dan ada pula yang keji. Dengan kata lain, akhlak menurut al-Maududi sebagai sebarang tingkah laku yang baik yang telah menjadi adat kebiasaan sesuatu masyarakat. Apabila ia dilakukan tidak lagi perlu berfikir panjang untuk menerima atau menolaknya.
                                                                                                            [Mustafa Hj. Daud, 1988: 86]
Walau bagaimanapun, pengertian bahawa akhlak itu merupakan perkara yang telah sebati dalam diri manusia ini perlu difahami secara lebih teliti dan dihuraikan dengan lebih terperinci kerana ia boleh menghasilkan tanggapan yang tidak tepat bahawa tidak perlu diadakan pendidikan akhlak dalam kalangan kanak-kanak memandangkan akhlak  merupakan sifat yang telah sebati dalam diri seseorang individu. Hal ini kerana menurut Islam, anak-anak dilahirkan bersifat fitrah, yakni tabiat semulajadi manusia itu suci dan bersih daripada dosa dan noda.
Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

Maksud: “(Setelah jelas kesesatan syirik itu) maka hadapkanlah dirimu (engkau dan pengikut-pengikutmu, Wahai Muhammad) ke arah agama yang jauh dari kesesatan; (turutlah terus) agama Allah, iaitu agama yang Allah menciptakan manusia (dengan keadaan bersedia dari semulajadinya) untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah itu; itulah agama yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
                                                                                                                             [Ar-Ruum, 30: 30]
Berkaitan hal ini, Imam al-Ghazali sendiri telah banyak memperkata dan mengetengahkan pandangan serta idea tentang kaedah-kaedah yang boleh digunakan untuk membentuk, mengembangkan dan mendidik moral atau akhlak manusia. Contohnya, kaedah berbentuk teori dan praktikal, kaedah pembentukan, penghalangan dan penyembuhan. Oleh itu, boleh dibuat rumusan bahawa sememangnya akhlak manusia telah dimiliki sejak dia dilahirkan sama ada berbentuk positif atau negative, namun ia boleh diubah dan dibentuk menerusi pendidikan, rangsangan dan latihan.
Hal ini dijelaskan oleh Yalchin ketika menyimpulkan maksud akhlak dan menurutnya (seperti dilaporkan oleh Asmawati Suhid dalam Abdul Rahman Md. Aroff, 2004), akhlak mengandungi sifat yang dimiliki oleh individu sejak kelahirannya; sifat ini boleh dimiliki menerusi latihan, rangsangan atau sebagainya yang akhirnya menjadi adat atau tabiat; dan akhlak juga meliputi dua dimensi, iaitu batin atau kejiwaan dan zahir dalam bentuk perlakuan.
Akhlak juga didefinisikan sebagai tabiat. Tabiat atau kebiasaan dijelaskan sebagai perlakuan atau tingkah laku yang diamalkan secara berulang-ulang, dengan ikhlas dari dalam jiwa. Perbuatan yang diulang-ulang itu akhirnya menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan seharian individu. Omar asy-Syaibani (1991) dalam hal ini menegaskan maksud tabiat dengan huraian bahawa akhlak bukan sekadar kata-kata yang diulang dan slogan yang dipamerkan tetapi adalah watak, kebiasaan atau sikap yang mendalam dalam jiwa. Untuk memperoleh akhlak yang dikehendaki, individu Muslim hendaklah mengamalkan secara berulang-ulang sehingga ia menjadi kebiasaan dalam kehidupannya. Misalnya, memberi salam, bercakap benar, menepati waktu, menepati janji, mencari rezeki secara halal, mengelakkan suka bercakap bohong, membantu orang yang memerlukan, mengucapkan syukur dan bertolak ansur merupakan akhlak yang bersifat kebiasaan. Dengan membiasakan amalan baik dan mulia ini juga dapat menghapuskan akhlak yang keji dan digantikan dengan akhlak yang mulia.