Pages

Pages

Selasa, 4 Jun 2013

Generalisasi (Ilmu Logika @ Mantik) -part 2


GENERALISASI YANG SALAH

Kita telah mengetahui bahwa tingkat keterpercayaan suatu generalisasi tergantung bagaimana tingkat terpenuhnya jawaban atas evaluasi sebagaimana tersebut di atas. Semakin terpenuhnya syarat-syarat tersebut semakin tinggi tingkat keterpercayaan generalisasi dan begitu pula sebaliknya.

Bagaimana juga ada kecenderungan umum untuk membuat generalisasi berdasarkan fenomena yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi syarat untuk dibuat generalisasi. Hal ini juga bisa disebut sebagai generalisasi tergesa-gesa.

GENERALISASI EMPIRIK DAN GENERALISASI DENGAN PENJELASAN

Sebagaimana telah disebutkan bahwa generalisasi (sudah barang tentu generalisasi tidak sempurna) tidak pernah mencapai tingkat keterpercayaan mutlak namun kesimpulan yang dihasilkan menjadi terpercaya manakala terpenuhi empat syarat yang telah disebutkan di atas. Apabila generalisasi ini disertai dengan penjelasan ‘mengapa’ maka kebenaran yang dihasilkan akan lebih kuat lagi.

Generalisasi yang tidak disertai dengan penjalasan mengapa-nya atau generalisasi berdasarkan fenomenanya semata-mata disebut generalisasi empirik. Atau dengan melihat pendapat Metron yang membatasi generalisai empiris sebagai "suatu proposisi tersendiri yang meringkas keseragaman hubungan yang diminati di antara dua tau lebih variable" yang memisahkan istilah "hukum ilmiah" dengan "suatu pernyataan invariant yang dapat ditarik dari suatu teori." Perbedaan diantara berbagai generailisasi emperis ini, dimana teori penjelas yang tepat ternyata belum ada dan di mana teori demikian telah ada.

Taruhlah kita mempercayai generalisasi Darwin “semua kucing berbulu putih dan bermata biru adalah tuli”. Pernyataan ini didasarkan atas generalisasi yang benar dan terpercaya, sehingga kita semua mengakui kebenaran pernyataan ini. Tetapi sejauh itu, pernyataan serupa ini hanya mendasarkan kepada fenomenanya, maka hal ini adalah generalisasi empirik. Apabila kemudian kita dapat menjelaskan mengapa kucing yang mempunnyai ciri-ciri serupa itu adalah tuli, yakni menghubungkan bahwa ketiadaan pigmen pada bulu kucing dan warna matanya mengakibatkan organ pendengarannya tidak berfungsi dan generalisasi ini disebut generalisasi dengan penjelasan (explained generalization). Generalisasi ini mempunyai taraf keterpercayaan hampir setingkat dengan generalisasi sempurna.

Kebayakan generalisasi pada kehidupan kita adalah generalisasi empirik, yang berjalan bertahun-tahun bahkan berabad-abad sampai akhirnya dapat diterangkan. Telah diketahui berdasarkan generalisasi bahwa tanah yang ditanam secara bergantian dengan jenis lain secara teratur akan menghasilkan panen yang lebih baik dibanding jika ditanami dengan tanaman yang selalu sejenis. Ini diketahui sudah sejak berabad-abad, tetapi sedemikian jauh masih merupakan generalisasi empirik.

Setelah bertahun-tahun manusia mendasarkan tindakannya atas pengetahuan yang semata-mata empirik kemudian menemukan rahasianya bahwa pergantian jenis tanaman akan menghasilkan kesuburan bagi tanah inilah yang menyebabkan panenan berikutnya baik. Pengetahuan kita sekarang ini, bahwa memanfaatkan tanah dengan menanaminya secara berganatian akan menghasilkan panen yang bagus, menjadi pengetahuan generalisasi dengan penjelasan, karena kita telah mengetahui hubungan kausalnya.

Jadi benarlah bahwa semua hukum alam mula-mula dirumuskan melalui generalisasi empirik kemudian setelah diketahui hubungan kausalnya, maka lahirlah generalisasi dengan penjelasn dan inilah yang melahirkan penjelasan ilmiah.

Generalisasi (Ilmu Logika @ Mantik) -part 1


PENGERTIAN GENERALISASI
Di dalam buku Logika, Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. (Mundiri, 1994 : 127). Menurut Gorys Keraf dalam buku Argumentasi dan Narasi, Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. (Gorys Keraf, 1994:43). Sama halnya dalam buku Dasar-dasar Logika yang menyatakan bahwa generalisasi adalah ”sesuatu yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi”. ( Surajiyo dkk, 2005 : 240 )

Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya suatu probabilitas suatu peluang. Dan hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi (proposisi universal). (Soekadijo,1991 : 134)

Dalam keterangan lain dikatakan Generalisasi dalam ilmu mantiq disebut istiqro' atau istinbat). Generalisasi adalah istidlal yang di dasarkan atas memepelajari terhadap sesuatu yang kecil dengan sunggug-sungguh darinya aqal bisa mengambil kesimpulan umum. Atau yang lebih umum mengenai generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. Dengan begitu, hukum yang disimpulkan dari fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki, oleh karena itu, hukum yang dihasilkan oleh penalaran generalisasi tidak pernah sampai kepada kebenaran pasti tetapi hanya sampai kepada kebenaran kemungkinan besar.

Contoh: ada beberapa fenomena, yaitu:
Ø  Hamid adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
Ø  Munir adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
Ø  Nurul adalah mahasiswa tarbiyah….jujur
Ø  Faizin adalah mahasiswa tarbiyah….jujur

Jika disimpulkan bahwa semua mahasiswa tarbiyah itu jujur maka kebenaran kesimpulan ini hanya mempunyai kebenaran kemungkinan besar (probabilitas).


Kebanyakan generalisasi didasarkan pada pemeriksaan atas suatu sample atau contoh dari seluruh golongan yang diselidiki. Oleh karena itu, generalisasi juga biasa disebut induksi tidak sempurna atau tidak lengkap. ( Poespoprodjo, 1999 : 60 ) Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa generalisasi adalah suatu pernyataan umum yang menyimpulkan sejumlah premis-premis yang sama kondisinya.

Contoh dari generalisasi:
Ø  aluminium jika dipanaskan akan memuai.
Ø  besi jika dipanaskan akan memuai.
Ø  tembaga jika dipanaskan akan memuai.
Ø  nikel jika dipanaskan akan memuai
Generalisasinya, yaitu semua logam jika dipanaskan akan memuai.

MACAM-MACAM GENERALISASI

Dari segi kuantitas fenomena yang menjadi dasar penyimpulan, generalisasi dibedakan menjadi 2, yaitu:

1.Generalisasi Sempurna.

Adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan yang diselidiki. Contoh : Setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa : Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. dalam penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan.
Generalisasi sempurna ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis. ( Mundiri, 1994 : 129 )

2.Generalisasi tidak Sempurna.

Adalah generalisasi dimana kesimpulannya diambil berdasarkan sebagian fenomena yang kesimpulanya berlaku juga bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki, misalnya. Setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia adalah menusia yang suka bergotong-royong kemudian diambil kesimpulan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi sebagian (probabilitas).

Meskipun macam generalisasi ini tidak menghasilkan kesimpulan sampai ketingkat pasti tetapi proses generalisasi ini jauh lebih praktis dan ekonomis, seperti halnya ilmu. Ilmu yang disusun berdasar fakta observasi tidak untuk menyajikan kebenaran mutlak melainkan kebenaran probabilitas sehingga sangat keliru jika diantara kita berkeyakinan bahwa ilmu menyajikan hukum dan kesimpulan yang kebenarannya mutlak.

Jika kita berbicara mengenai generalisasi, maka generalisasi yang dimaksud adalah generalisasi tidak sempurna. Menurut para ahli, generalisasi ini disebut sebagai induksi tidak sempurna dan teknik inilah yang paling banyak digunakan dalam menyusun ilmu pengetahuan.

Dalam ilmu biologi misalnya, Darwin menyatakan bahwa ‘Semua kucing putih yang bermata biru adalah tuli.’ Kesimpulan ini didasarkan atas generalisasi tidak sempurna, demikian pula pernyataan Cuvier bahwa “Tidak ada hewan yang bertanduk dan berkuku telapak adalah pemakan daging”. Isaac Newton juga mendasarkan kesimpulannya pada generalisasi tidak sempurna atas teorinya yang mashur tentang hukum gravitasi. Ilmu-ilmu kealaman semua disusun berdasarkan generalisasi tidak sempurna, demikian pula ilmu-ilmu sosial.

IBNU SINA (part 3)


Pemikiran Filsafat Ibnu Sina

1. Filsafat Wujud Ketuhanan.

Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi essensi dan wujud dapat dibagi :

ü  Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud  (impossible being). Contohnya rasa sakit.
ü  Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
ü  Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.

Dalam pembagian wujud wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun antara lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :

Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372) dijelaskan bahwaadanyawajib wujud (Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.

Ketiga, jika perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

2. Filsafat Jiwa

Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan tentang jiwa, Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai konsep sendiri dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.

Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika dia lebih mendekati pendapat-pendapat filosof modern. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang jiwa.Sebagaimana Al-Farabi,iajuga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujud-nya timbul di langit.

Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:
v  Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia).

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :

Ø  Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai daya:Makan (nutrition), Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction)
Ø  Jiwa binatangmempunyai daya:Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian :
a)    Menangkap dari luar dengan panca indera. Terdiri dari lima unsur; sentuh, perasa, pencium, penglihatan, pendengaran.
b)    Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Terdiri dari lima indera; indra al-hiss al-musytarakberfungsi menerima segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-khayyalberfungsi menyimpan apa yang ditangkap indera bersama, indera al-mutakhayyilatberfungsi menyusun apa yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi berfungsi menangkap hal-hal yang abstrak. Seperti  menghindari sesuatu yang dibenci oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan hal-hal abstrak yang diterima dari estimasi.

Ø  Jiwa manusia mempunyai daya :
ü  Daya Praktis berhubungan dengan badan dan daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal abstrak.Daya teoritis  mempunyai tingkatan:
ü  Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
ü  Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
ü  Akal aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
ü  Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.

v  Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.

Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu:

Ø  Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan.
Gerak ada dua macam yaitu :
Ø  Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
Ø  Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :

ü  Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah.
ü  Gerak diam benda yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badan seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang di udara, seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.

Pengenalan tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-unsurnya).

Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab-kitab yang dikarang, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa.

3. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.

Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
4. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).

Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang mempunyai hubungan dengan masa lampau dan masa depan. Kehidupan ruh pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin, bahkan kehidupan yang terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan  karena adanya jiwa.Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam.

5. Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.

Dalil ini adalahn yang paling jelas menunjukkan intelektualitas Ibnu Sina. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan. Dalil tersebut sebagai berikut: jika ada seseorang yang bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan.Kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya itu ada.Jika ia memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya, berarti wujud penggambaran dirinya membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam organ itu ada.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

6. Falsafat Wahyu dan Nabi

Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Perbedaan antara nabi dan filosof yang telah dijelaskan oleh Sirajuddin bahwa seorang nabi adalah manusia pertama, manusia pilihan Tuhan dan tidak peluang bagi filosof untuk menjadi nabi. Sedangkan filosof adalah menusia kedua, manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi nabi.

Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal mustafad. Kebenaran filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan ilham yang merupakan sebuah perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang berhubungan dengan nabi melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci). Kebenaran nabi itulah yang dinamakan wahyu.

Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.

IBNU SINA (part 2)


Karya–karya utama Ibnu Sina

Dalam sejarah kehidupannya, Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang sangat produktif dalam menghasilkan berbagai karya buku. Buku-buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, diantarannya ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra arab. Adapun karya-karyanya sebagai berikut :

v  Kitab Qanun fi al-Thib, merupakan karya ibnu sina dalam bidang ilmu kedokteran. Buku ini pernah menjadi satu-satunya rujukan dalam bidang kedokteran di Eropa selama lebih kurang lima abad. Buku ini merupakan iktisar pengobatan Islam juga diajarkan hingga kini di Timur.
v  Kitab As-Syifa, merupakan karya ibnu sina dalam bidang filsafat. Kitab ini antara lain berisikan tentang uraian filsafat dengan segala aspeknya
v  Kitab An-Najah, merupakan kitab tentang ringkasan dari kitab As-Syifa, kitab ini ditulis oleh ibnu sina untuk para pelajar yang ingin mempelajari dasar-dasar ilmu hikmah, selain itu buku ini juga secara lengkap membahas tentang pemikiran Ibnu Sina tentang ilmu Jiwa.
v  Kitab Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah, merupakan karya Ibnu Sina dalam bidang ilmu fisika. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab juga masih tersimpan dalam berbagai perpustakaan di Istanbul, penerbitannya pertama kali dilakukan di Kairo pada tahun 1910 M, sedangkan terjemahannya dalam bahasa Yahudi dan Latin masih terdapat hingga sekarang.
v  Kitab al- Isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.

Selain kitab-kitab tersebut masih banyak karya ibnu sina berjumlah cukup besar, namun untuk mengetahui berapa jumlah buku karya-karya ibnu sina/ tersebut secara pasti sangatlah sulit, mengingat perbedaan tentang sedikit banyaknya data yang digunakan. Namun untuk menjawab hal ini, setidaknya ada dua pendapat. Pertama, dari penyelidikan yang dilakukan oleh Father dari Domician di Kairo terhadap karya-karya Ibnu Sina, ia mencatat sebanyak 276 (dua ratus tujuh puluh enam) buah. Kedua, Phillip K.Hitti dengan menggunakan daftar dan dibuat al-Qifti mengatakan bahwa karya-karya tulis Ibnu Sina sekitar 99 (sembilan puluh sembilan) buah.

Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran juga telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah ke Eropa. Kontribusi Ibnu Sina terhadap pemikiran serta ilmu pengetahuan amatlah besar dan diakui berpengaruh signifikan kepada para ilmuwan, pemikir,  filusuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya dalam ilmu medis, Ibnu Sina memperoleh julukan “Father of Doctors” (Bapak Para Dokter). Natsir Arsyad  menyebutkan bahwa dokter kawakan Ibnu Sina pernah dijuluki sebagai Medicorum Principal atau “Raja Diraja Dokter”, oleh kaum Latin Skolastik. Julukan lain juga diberikan kepada Ibnu Sina, seperti, “Raja Obat”. Dalam dunia Islam sendiri, ibnu sina dianggap sebagai zenith, puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran.

George Sarton, menyatakan bahwa prestasi medis Ibnu Sina sedemikian lengkap sehingga mengecilkan sumbangan lainnya dari seluruh dunia, seolah-olah mereka hanya membuat penemuan kecil, sementara itu penyelidikan orisinal menyusut beberapa abad setelah masa Ibnu Sina. Sarton juga menguraikan pengaruh Ibnu Sina sangat besar terhadap ruang lingkup juga perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah (textbook) Ibnu Sina merupakan referensi dasar utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang dari buku-buku lainnya yang pernah ditulis.

Sepertinya kontribusi terpenting Ibnu Sina diwariskan untuk dunia kedokteran adalah dalam ilmu medisnya, yaitu Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine, Konstitusi Ilmu Kedokteran). Seyyed Hossein Nasr  menyebutkan bahwa karya besar Qanun itu adalah karya paling banyak dibaca, hal ini besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan Eropa. Karya besar ini merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa Renaisans dalam terjemahan Latin-nya oleh Gerard dari Cremona. Buku teks standar ini terdiri dari lima bagian pokok: prinsip-prinsip umum, obat-obatan, penyakit organ-organ tertentu, penyakit lokal bertendensi menjalar ke seluruh tubuh, seumpama demam,juga obat-obatan majemuk. Arsyad juga menyebutkan bahwa buku Qanun Ibnu Sina sejak zaman dinasti Han di Cina telah menjadi buku standar karya-karya medis Cina. Pada Abad Pertengahan, sejumlah besar karya Ibnu Sina telah diterjemahkan dalam bahasa Latin juga Hebrew, yang merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu pengetahuan masa itu.

Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak juga genius orisinil, bukan hanya dunia Islam menyanjung (ibnu sina) sebagai satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, juga bukan pinjaman, sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan nbsp; filusuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya dalam ilmu medis, Ibnu Sina memperoleh julukan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tidak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, kendatipun ada, sangat sukar sekali didapatnya serta sangat susah dipahami kemudian digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.

Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, ibnu sina pun penyair. Ilmu – ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ditulisnya dalam bentuk syair, dapat ditemukan melalui buku-buku karya ibnu sina untuk ilmu logika dengan syair. banyak buku-buku ibnu sina telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang–orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, di berbagai universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.

Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku -bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.

Dapat disimpulkan bahwa begitu besarnya pengaruh dari sosok Ibnu Sina mengenai pemikiran yang beliau tuangkan kepada kita. Ide-ide cemerlang dari ibnu sina memberikan dampak signifikan dalam ilmu pengetahuan, untuk itulah mari kita memperbanyak syukur karena kita dapat mengetahui ilmu-ilmu dari karya-karya  Ibnu Sina.

IBNU SINA (part 1)


Riwayat Hidup

Nama lengkap ibnu sina adalah Abu `Ali al-Husain ibnu `Abdillah ibn Hasan ibnu `Ali Sina. Di Eropa (dunia Barat) ibnu sina lebih dikenal dengan sebutan  akibat terjadinya metamorphose Yahudi- Spanyol-Latin. Dari bahasa Spanyol kata Ibnu untuk ibnu sina diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad kedua belas di Spanyol.  Ibnu sina dilahirkan pada tahun 370 H / 980 M di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia), dan wafat pada jum`at pertama Ramadhan tahun 428 H/1037 M dalam usia 57 tahun, jasad ibnu sina dikebumikan di Hamadzan (Tehran).

Ayah ibnu sina bernama Abdullah dari Balkh merupakan seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khurasan, pada saat kelahiran putranya yaitu ibnu sina, ayah ibnu sina menjabat sebagai gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh Ibnu Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (Persia). Ibu ibnu sina/ bernama Satarah berasal dari daerah Afshana.

Nama ibnu sina semakin terkenal ketika ibnu sina mampu menyembuhkan penyakit Raja Bukhara bernama Nuh ibn Manshur, saat itu umur ibnu sina baru 17 tahun. Sebagai penghargaan, raja meminta ibnu sina menetap di Istana selama sang raja dalam proses penyembuhan. Namun ibnu sina menolaknya dengan halus, sebagai imbalannya beliau (ibnu sina) hanya meminta izin untuk menggunakan perpustakaan kerajaan terdapat didalamnya buku-buku, buku tersebut sulit didapatkan.

Hal itu dimanfaatkan ibnu sina untuk membaca, mencari berbagai referensi dasar untuk menambah ilmunya agar lebih luas berkembang. Kemampuan ibnu sina dengan cepat menyerap berbagai cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai materi intelektual dari perpustakaan kerajaan. Karena kejeniusannya itu, ibnu sina mendapatkan gelar ilmiah,  diantaranya Syaikh Ra`is serta Galenos Arab. Gelar tersebut diraih oleh ibnu sina ketika umurnya masih remaja.

Setelah ayah ibnu sina meninggal saat beliau/ibnu sina berusia 22 tahun, beliau (ibnu sina) hijrah ke Jurjan, suatu kota di dekat laut kaspia, di sanalah ia (ibnu sina) mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-tibb (the Qanun). Kemudian ibnu sina pindah ke Ray, kota di sebelah Taheran, selanjutnya /ibnu sina bekerja kepada Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah penguasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat ibnu sina menjadi Menterinya. Kemudian ibnu sina Hijrah ke Isfahan, ibnu sina meninggal dunia sebab sakit yang diderita ibnu sina yaitu penyakit disentri pada pada tahun 428 Hijrah bersamaan dengan tahun 103 Masehi di Hamazan ( sekarang wilayah Iran).

Pendidikan Ibnu Sina

Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali yang dia pelajari adalah membaca al-Qur’an, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqih, Ushuluddin dan lain sebagainya, berkat ketekunan dan kecerdasannya, beliau berhasil menghapal al-Quran dan menguasai berbagai cabang ilmu-ilmu agama tersebut pada usia yang belum genap sepuluh tahun. Dalam bidang Pendidikan lain, beliau juga mempelajari beberapa disiplin ilmu diantaranya Matematika, logika, fisika, kedokteran, Astronomi, Hukum, dan sebagainya.

Dengan kecerdasan yang beliau miliki, beliau banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun pada saat ia menyelami ilmu metafisika nya Arisstoteles, beliau mengalami kesulitan kendati sudah berulang-ulang membacanya bahkan beliau menghafalnya, tetap saja beliau belum dapat memahami isinya. setelah ia membaca karya Al-Farabi dalam buku risalahnya, barulah Ibnu Sina dapat memahami ilmu metafisika dengan baik. Secara tidak langsung Ibnu Sina telah berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan mengenai utang budinya kepada Al-Farabi.

Pada usia 16 tahun beliau mulai dikenal sebagai ahli pengobatan, dan sudah benar-benar dikenal pada saat beliau berumur 17 tahun dengan pembuktian bahwa beliau telah berhasil menyembuhkan penyakit yang diderita sultan Samani Nuh Ibn Mansur. Untuk menambah ilmunya, beliau juga banyak menghabiskan sebahagian waktunya dengan membaca serta membahas buku-buku yang beliau anggap penting di perpustakaan kerajaan Nuh ibnu Manshur yang bernama kutub Khana, di sinilah beliau melepaskan dahaga belajarnya siang malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan baik.

Guru-Guru Ibnu Sina

Di samping belajar secara otodidak, Ibnu Sina juga menyerap berbagai ilmu dari beberapa orang Guru, antara lain Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Barqi al-Khawarizmi untuk ilmu bahasa, Ismail al-Zahid untuk ilmu fiqih, Abu Sahl al-Masihi serta Abu Manshur al-Hasan bin Nuh untuk ilmu kedokteran. Beliau/ibnu sina juga belajar Aritmatika dari `Ali Natili seorang sufi ismaili berkebangsaaan India.

Metode Ilmiah Ibnu Sina

Ibnu Sina merupakan Filosof besar Islam yang berhasil membangun system filsafat lengkap dan terperinci, suatu system telah mendominasi tradisi filsafat Muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ibnu sina memiliki system, tetapi karena system yang dimilikinya menampakan keaslian juga menunjukkan jiwa yang jenius dalam menentukan metode–metode serta diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual ibnu sina atau  untuk mewarisi dan dalam system keagamaan Islam.  Diantara metode – metode dari pemikiran ibnu sina paling populer adalah:
Ø  Bidang kedokteran yaitu Penyakit T.B.C juga Chronis
Mengenai penyakit-penyakit berbahaya sangat mengganggu manusia zaman modern ini, sudah ditemukan dan sudah dicarikan pengobatannya oleh Ibnu sina pada seribu tahun lalu. Desmond Stewart menyebutkan penemuan-penemuan baru Ibnu Sina tentang menularnya penyakit T.B.C dan bisa membahayakan kesehatan manusia saat ini, begitu juga dengan penyakit Chrionis.

 Di dalam bukunya “ Early Islam”, Stewart menerangkan : “ Ibnu Sina is Now credited with such personal contributions as recognizing the contagious nature of tuberculosis and describing certain skin diseases and psychological disorders. Among the latter was love sickness, the effects of which were described as loss of weight and strength, fever and various chronic ailments. The cure was quite simple, once the diagnosis was made to have the sufferer united with the one he or she was pining for. Ibnu Sina also observed that certain diseases can be spread by water and soil, and advanced view for his time. Outside the realm of pure medicine, he invented a saclike precision device that helped to improve the accuracy of instruments used for measuring angles and short lengths. He also made many investigations in the realm of physics, helping to lay the foundations of experimental science that was to develop in the 16th and 17th centuries”.

Makna: “sekarang Ibnu Sina meninggalkan saham-saham pribadi mengenai pengakuan sifat menular dari penyakit T.B.C, selain itu ibnu sina menulis tentang cara mengobati penyakit-penyakit kulit dan penyakit gangguan jiwa. Diantara penyakit terakhir ini, ibnu sina telah menemukan sakit cinta (love sicknes), akibat hilangnya keseimbangan serta penjagaan diri, begitu juga dengan sakit demam panas juga penyakit-penyakit chronis. Pengobatannya sangat sederhana, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan, maka si penderita dapat dipertemukan dengan orang yang dirinduinya, dari pria juga wanita”.

Pengaruh Ibnu Sina
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah ke Eropa. Kontribusi ibnu sina terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan amatlah besar, diakui berpengaruh signifikan kepada para ilmuwan, pemikir dan filusuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya dalam ilmu medis, ibnu sina memperoleh julukan “Father of Doctors” (Bapak Para Dokter). Natsir Arsyad  menyebutkan bahwa dokter kawakan ibnu sina pernah dijuluki sebagai Medicorum Principal atau “Raja Diraja Dokter”, oleh kaum Latin Skolastik. Julukan lain pernah diberikan kepada ibnu sina, misalnya, adalah “Raja Obat”. Dalam dunia Islam sendiri, ia/ibnu sina dianggap sebagai zenith, puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran.

George Sarton, menyatakan bahwa prestasi medis Ibnu Sina sedemikian lengkap sehingga mengecilkan sumbangan lainnya dari seluruh dunia, seolah-olah mereka hanya membuat penemuan lebih kecil, dan sementara itu penyelidikan orisinal menyusut beberapa abad setelah masa ibnu sina. Sarton juga menguraikan pengaruh Ibnu Sina sangat besar terhadap ruang lingkup juga perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah (textbook) ibnu sina merupakan referensi dasar utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu  lebih panjang dari buku-buku lainnya .

Sepertinya kontribusi terpenting dari ibnu sina dan diwariskan ibnu sina kepada dunia kedokteran adalah dalam ilmu medisnya, yaitu Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine, Konstitusi Ilmu Kedokteran). Seyyed Hossein Nasr  menyebutkan bahwa karya besar Qanun itu adalah karya paling banyak dibaca juga besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan Eropa. Karya besar ini merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa Renaisans dalam terjemahan Latinnya oleh Gerard dari Cremona. Buku teks standar ini terdiri dari lima bagian pokok: prinsip-prinsip umum, obat-obatan, penyakit organ-organ tertentu, penyakit lokal bertendensi menjalar memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali yang dia pelajari adalah membaca al-Qur ke seluruh tubuh, seumpama demam, dan obat-obatan majemuk.

Arsyad juga menyebutkan bahwa buku Qanun ibnu sina sejak zaman dinasti Han di Cina telah menjadi buku standar karya-karya medis Cina. Pada Abad Pertengahan, sejumlah besar karya ibnu sina telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Hebrew, karya ibnu sina dalam bidang bahasa tersebut merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu pengetahuan masa itu.

Di bidang filsafat, ibnu sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. ibnu sina otodidak, genius orisinil bukan hanya dunia Islam menyanjungnya, ia/ibnu sina memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam -nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana,kendatipun ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan-peperangan yang meraja lela di sebelah Timur, sampai saatnya ibnu sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.

Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ibnu sina pun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada ditulisnya dalam bentuk syair, dapat ditemukan melalui buku-buku dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, di berbagai universitas. Oleh karena itu nama ibnu sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh. Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya baik diiringi caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku -bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.

Dapat disimpulkan bahwa begitu besarnya pengaruh dari Ibnu Sina mengenai pemikiran yang beliau/ibnu sina tuangkan kepada kita. Ide-ide cemerlang dari ibnu sina memberikan dampak signifikan dalam ilmu pengetahuan, untuk itulah mari kita memperbanyak syukur karena kita dapat mengetahui ilmu-ilmu dari Ibnu Sina melalui karya-karyanya.